Jumat, 04 Februari 2011

Dasar Pengembangan Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)


Pengembangan Program kegiatan belajar/kurikulum bagi anak usia dini dikembangkan berdasarkan sejumlah pendekatan yang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan anak usia dini. Dalam penelitian ini pendekatan yang akan digunakan dalam pengembangan program kegiatan belajar adalah berdasarkan teori perkembangan anak (child developmental, theories), pendekatan kelas berpusat pada anak (child centered approach), pendekatan kontruktivisme (constructivism approach) dan pendekatan kurikulum dengan dasar bermain (playbased curriculum approach) yang akan dipaparkan sebagai berikut :

1. Teori Perkembangan Anak

Pakar psikologi perkembangan memandang bahwa anak terlahir dengan dorongan dari dalam dirinya untuk menguasai berbagai kompetensi. Sebagai contoh seorang anak pada usia berjalan akan terlihat adanya usaha keras untuk menarik dirinya berdiri menggunakan kursi, pada mulanya memang la tidak akan segera naik bahkan terkadang terjatuh sehingga tampak diwajahnya menunjukkan kekesalan. Perjuangan untuk dapat berjalan terjadi secara kontinyu. Seolah takut terjatuh lagi, anak membangun kekuatan untuk bangun dan berdiri. Ini adalah bukti bahwa ada dorongan dari dalam (motivasi instrinsik) yang mengharuskan anak berdiri tegak dan kemudian berjalan.

Pada dasarnya terdapat 2 pendekatan utama yang digunakan untuk pendidikan anak usia dini, yaitu : pendekatan perilaku dan pendekatan perkembangan. Pendektan perilaku beranggapan bahwa konsep-konsep tidaklah berasal dari dalam diri anak dan tidak berkembang secara spontan. Atau dengan perkataan lain konsep-konsep tersebut harus ditanamkan pada anak dan diserap oleh anak, sehingga pendekatan seperti ini melahirkan pengajaran yang berpusat pada guru.

Pendekatan perkembangan, berpandangan bahwa perkembanganlah yang memberikan kerangka untuk memahami dan menghargai pertumbuhan alami anak usia dini. Terdapat beberapa anggapan dari pendekatan ini, yaitu: (1) anak usia dini adalah pebelajar aktif yang secara terus menerus mendapat informasi mengenai dunia lewat permainannya, (2) setiap anak mengalami kemajuan melalui tahapan-tahapan perkembangan yang dapat diperklirakan, (3) anak bergantung pada orang lain dalam hal pertumbuhan emosi dan kognitif melalui interaksi sosial, (4) anak adalah individu yang unik yang tumbuh dan berkembang dengan kecepatan yang berbeda.


2. Pendekatan Berpusat pada Anak

Pendekatan kelas yang berpusat pada anak (child centered approach) adalah suatu kegiatan belajar dimana terjadi interaksi dinamis antara guru dan anak atau antara anak dengan anak lainnya. Secara khusus bertujuan (1) agar anak mampu mewujudkan dan mengakibatkan perubahan, (2) agar anak menjadi pemikir-pemikir yang kritis, (3) anak mampu membuat pilihan- pilihan dalam hidupnya, (4) agar anak mampu menemukan dan menyelesaikan permasalahan secara konstruktif dan inovatif, (5) agar anak menjadi kreatif, imajinatif dan kaya akan gagasan, (6) agar anak memiliki perhatian terhadap masyarakat, negara dan lingkungannya.

Filosofi dari pembelajaran berpusat pada anak adalah program tahap demi tahap, yang didasari pada adanya suatu keyakinan bahwa anak-anak akan tumbuh dengan baik jika mereka dilibatkan secara alamiah dalam proses belajar. Lingkungan yang dirancang secara cermat dengan menggunakan konsep tahap demi tahap mendorong anak-anak untuk bereksplorasi, mempelopori dan menciptakan sesuatu.

Landasan program pembelajaran berpusat pada anak didasari pada 3 prinsip utama program tahap demi tahap bagi anak usia dini, yaitu: konstruktifisme, pelaksanaan yang sesuai dengan perkembangan, dan pendidikan progresif (proses seumur hidup).

Secara spesifik pembelajaran yang berpusat pada anak bertujuan untuk : (1) mengembangkan kemampuan anak secara alamiah sesuai dengan tingkat perkembangannya, (2) berusaha membuat anak bebas dan aman secara psikologis sehingga senang belajar di sekolah, (3) meningkatkan fepedulian dan kerja sama antara pihak sekolah, keluarga dan masyarakat, (4) menekankan pada asas keterbukaan bagi hal-bal yang menunjang pendidikan anak (5) berusaha melengkapi segala kebutuhan yang menunjang perkembangan anak secara optimal.

Model berpusat pada anak sangat berbeda dengan model berpusat pada guru. Pada model yang berpusat pada anak pendekatan yang digLinakan adalah pendekatan berdasarkan perkembangan dan kegiatan bermain, sedangkan pada model yang berpusat pada guru pendekatannya berdasarkan perilaku yang diatur dan pembelajaran yang diatur oleh guru. Mode] berpusat pada anak memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) berorientasi pada perkembeingan anak, (2) berorientasi pada bermain, (3) berdasarkan proses, dan (4) bersifat terbuka / bebas

3. Pendekatan Kontruktivisme

Aliran konstruktifisme meyakini bahwa pembelajaran terjadi saat anak berusaha memahami dunia disekeliling mereka, anak membangun pemahaman mereka sendiri terhadap dunia sekitar dan pembelajaran menjadi proses interaktif yang melibatkan teman sebaya, orang dewasa dan lingkungan.

Selanjutnya dalam pemikiran yang lebih dalam Piaget menyatakan bahwa pengetahuan tidak hanya interaksi langsung indera dengan kenyataan, tetapi juga harus ada pemikiran tentang perubahan yang terjadi yang berhubungan dengan kenyataan, perubahan inilah yang akan membangun pengetahuan nantinya. Pengetahuan juga berasal dari lingkungan budaya kita. Pengetahuan yang berasal dari budaya kita biasanya didapatkan secara turun­-menurun melalui orang-orang yang berada di sekitar kita. Pengetahuan dibangun oleh anak berdasarkan kemampuannya dalam memahami perbedaan berdasarkan persamaan yang tampak.

Lev Vygotsky berpendapat bahwa pengetahuan tidak diperoleh dengan cara dialihkan dari orang lain, melainkan merupakan sesuatu yang dibangun dan diciptakan oleh anak. Selanjutnya dijelaskan bahwa belajar merupakan
suatu proses yang tidak dapat dipaksa dari luar karena anak adalah pembelajar aktif dan memiliki struktur psikologis yang mengendalikan perilaku belajarnya. Berhubungan dengan proses pembentukan pengetahuan, Vygotsky mengemukakan konsep zone of proximal development (ZPD) sebagai kapasitas potensial belajar anak yang dapat berwujud melalui bantuan orang dewasa atau orang yang lebih terampil. Terdapat 4 (empat) tahapan ZPD adalah pertama, tindakan anak masih dipengaruhi oleh orang lain, kedua tindakan anak didasarkan atas inisiatif sendiri, ketiga tindakan anak berkembang spontan dan terinternalisasi serta keempat tindakan spontan yang diulang-ulang sehingga anak siap berpikir abstrak


Dasar Pengembangan Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

Pengembangan Program kegiatan belajar/kurikulum bagi anak usia dini dikembangkan berdasarkan sejumlah pendekatan yang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan anak usia dini. Dalam penelitian ini pendekatan yang akan digunakan dalam pengembangan program kegiatan belajar adalah berdasarkan teori perkembangan anak (child developmental, theories), pendekatan kelas berpusat pada anak (child centered approach), pendekatan kontruktivisme (constructivism approach) dan pendekatan kurikulum dengan dasar bermain (playbased curriculum approach) yang akan dipaparkan sebagai berikut :

1. Teori Perkembangan Anak

Pakar psikologi perkembangan memandang bahwa anak terlahir dengan dorongan dari dalam dirinya untuk menguasai berbagai kompetensi. Sebagai contoh seorang anak pada usia berjalan akan terlihat adanya usaha keras untuk menarik dirinya berdiri menggunakan kursi, pada mulanya memang la tidak akan segera naik bahkan terkadang terjatuh sehingga tampak diwajahnya menunjukkan kekesalan. Perjuangan untuk dapat berjalan terjadi secara kontinyu. Seolah takut terjatuh lagi, anak membangun kekuatan untuk bangun dan berdiri. Ini adalah bukti bahwa ada dorongan dari dalam (motivasi instrinsik) yang mengharuskan anak berdiri tegak dan kemudian berjalan.

Pada dasarnya terdapat 2 pendekatan utama yang digunakan untuk pendidikan anak usia dini, yaitu : pendekatan perilaku dan pendekatan perkembangan. Pendektan perilaku beranggapan bahwa konsep-konsep tidaklah berasal dari dalam diri anak dan tidak berkembang secara spontan. Atau dengan perkataan lain konsep-konsep tersebut harus ditanamkan pada anak dan diserap oleh anak, sehingga pendekatan seperti ini melahirkan pengajaran yang berpusat pada guru.

Pendekatan perkembangan, berpandangan bahwa perkembanganlah yang memberikan kerangka untuk memahami dan menghargai pertumbuhan alami anak usia dini. Terdapat beberapa anggapan dari pendekatan ini, yaitu: (1) anak usia dini adalah pebelajar aktif yang secara terus menerus mendapat informasi mengenai dunia lewat permainannya, (2) setiap anak mengalami kemajuan melalui tahapan-tahapan perkembangan yang dapat diperklirakan, (3) anak bergantung pada orang lain dalam hal pertumbuhan emosi dan kognitif melalui interaksi sosial, (4) anak adalah individu yang unik yang tumbuh dan berkembang dengan kecepatan yang berbeda.


2. Pendekatan Berpusat pada Anak

Pendekatan kelas yang berpusat pada anak (child centered approach) adalah suatu kegiatan belajar dimana terjadi interaksi dinamis antara guru dan anak atau antara anak dengan anak lainnya. Secara khusus bertujuan (1) agar anak mampu mewujudkan dan mengakibatkan perubahan, (2) agar anak menjadi pemikir-pemikir yang kritis, (3) anak mampu membuat pilihan- pilihan dalam hidupnya, (4) agar anak mampu menemukan dan menyelesaikan permasalahan secara konstruktif dan inovatif, (5) agar anak menjadi kreatif, imajinatif dan kaya akan gagasan, (6) agar anak memiliki perhatian terhadap masyarakat, negara dan lingkungannya.

Filosofi dari pembelajaran berpusat pada anak adalah program tahap demi tahap, yang didasari pada adanya suatu keyakinan bahwa anak-anak akan tumbuh dengan baik jika mereka dilibatkan secara alamiah dalam proses belajar. Lingkungan yang dirancang secara cermat dengan menggunakan konsep tahap demi tahap mendorong anak-anak untuk bereksplorasi, mempelopori dan menciptakan sesuatu.

Landasan program pembelajaran berpusat pada anak didasari pada 3 prinsip utama program tahap demi tahap bagi anak usia dini, yaitu: konstruktifisme, pelaksanaan yang sesuai dengan perkembangan, dan pendidikan progresif (proses seumur hidup).

Secara spesifik pembelajaran yang berpusat pada anak bertujuan untuk : (1) mengembangkan kemampuan anak secara alamiah sesuai dengan tingkat perkembangannya, (2) berusaha membuat anak bebas dan aman secara psikologis sehingga senang belajar di sekolah, (3) meningkatkan fepedulian dan kerja sama antara pihak sekolah, keluarga dan masyarakat, (4) menekankan pada asas keterbukaan bagi hal-bal yang menunjang pendidikan anak (5) berusaha melengkapi segala kebutuhan yang menunjang perkembangan anak secara optimal.

Model berpusat pada anak sangat berbeda dengan model berpusat pada guru. Pada model yang berpusat pada anak pendekatan yang digLinakan adalah pendekatan berdasarkan perkembangan dan kegiatan bermain, sedangkan pada model yang berpusat pada guru pendekatannya berdasarkan perilaku yang diatur dan pembelajaran yang diatur oleh guru. Mode] berpusat pada anak memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) berorientasi pada perkembeingan anak, (2) berorientasi pada bermain, (3) berdasarkan proses, dan (4) bersifat terbuka / bebas

3. Pendekatan Kontruktivisme

Aliran konstruktifisme meyakini bahwa pembelajaran terjadi saat anak berusaha memahami dunia disekeliling mereka, anak membangun pemahaman mereka sendiri terhadap dunia sekitar dan pembelajaran menjadi proses interaktif yang melibatkan teman sebaya, orang dewasa dan lingkungan.

Selanjutnya dalam pemikiran yang lebih dalam Piaget menyatakan bahwa pengetahuan tidak hanya interaksi langsung indera dengan kenyataan, tetapi juga harus ada pemikiran tentang perubahan yang terjadi yang berhubungan dengan kenyataan, perubahan inilah yang akan membangun pengetahuan nantinya. Pengetahuan juga berasal dari lingkungan budaya kita. Pengetahuan yang berasal dari budaya kita biasanya didapatkan secara turun­-menurun melalui orang-orang yang berada di sekitar kita. Pengetahuan dibangun oleh anak berdasarkan kemampuannya dalam memahami perbedaan berdasarkan persamaan yang tampak.

Lev Vygotsky berpendapat bahwa pengetahuan tidak diperoleh dengan cara dialihkan dari orang lain, melainkan merupakan sesuatu yang dibangun dan diciptakan oleh anak. Selanjutnya dijelaskan bahwa belajar merupakan
suatu proses yang tidak dapat dipaksa dari luar karena anak adalah pembelajar aktif dan memiliki struktur psikologis yang mengendalikan perilaku belajarnya. Berhubungan dengan proses pembentukan pengetahuan, Vygotsky mengemukakan konsep zone of proximal development (ZPD) sebagai kapasitas potensial belajar anak yang dapat berwujud melalui bantuan orang dewasa atau orang yang lebih terampil. Terdapat 4 (empat) tahapan ZPD adalah pertama, tindakan anak masih dipengaruhi oleh orang lain, kedua tindakan anak didasarkan atas inisiatif sendiri, ketiga tindakan anak berkembang spontan dan terinternalisasi serta keempat tindakan spontan yang diulang-ulang sehingga anak siap berpikir abstrak


STEREOTIP, PRASANGKA, DAN DISKRIMINASI


Banyak orang menyamakan penggunaan kata prasangka dan diskriminasi. Padahal, secara konseptual, dua kata tersebut memiliki pengertian yang benar-­benar berbeda.

Prasangka adalah sebuah sikap (biasanya bersifat negatif) ditujukan bagi anggota-anggota beberapa kelompok, yang didasarkan pada keanggotaannya dalam kelompok. Dengan kata lain, jika seseorang memiliki prasangka pada seseorang, maka prasangka yang muncul didasarkan pada keanggotaan orang tersebut pada sebuah kelompok dan bukan oleh karakteristik lain yang dimilikinya, seperti kepribadian, masa lalu, atau karena kebiasaan negatifnya. Prasangka yang berkembang lebih disebabkan oleh keanggotaannya dalam sebuah kelompok tertentu. Peran karakteristik diri dalam memunculkan prasangka dari orang yang menjadi target prasangka dapat dikatakan jauh lebih kecil ketimbang keanggotaannya dalam kelompok tertentu. Sebagai sebuah sikap, prasangka tidak harus tampil dalam perilaku yang berlebihan (over), tetapi bisa jadi sebagai sebuah kecenderungan psikologis. Jika prasangka tampil dalalm perilaku yang dapat dilihat, maka kita mendefinisikannya sebagai diskriminas. ­

Diskriminasi dapat didefinisikan sebagai perilaku negatif terhadap orang lain. yang menjadi target prasangka. Merasa tidak nyaman jika duduk di samping target prasangka menunjukkan bahwa seseorang memiliki prasangka. Namun, memutuskan untuk pindah tempat duduk untuk menjauhi target prasangka adalah sebuah diskriminasi.

Dasar dari munculnya prasangka dan diskriminasi adalah stereotip. Stereotip adalah belief tentang karakteristik dari anggota kelompok tertentu, bisa positif ­atau bisa juga negatif. Walaupun dikatakan bahwa stereotip adalah dasar dari prasangka dan diskriminasi, namun tidak berarti bahwa seseorang yang memiliki ­stereotip negatif mengenai sebuah kelompok tertentu pasti akan menampilkan prasangka dan diskriminasi.

Patricia Devine (1989 dalam Deaux dan Wrightsman, 1993) mengembangkan model prasangka yang memisahkan antara komponen yang bersifat otomatis dan yang dapat dikontrol dari respons prasangka. Jika seseorang yang memiliki belief tentang sebuah kelompok berjumpa dengan anggota kelompok yang bersangkutan, maka terdapat aktivasi dari belief yang dimilikinya. Namun, belief ini tidak langsung otomatis menjadi prasangka dan diskriminasi. Orang tersebut memiliki kontrol untuk meneruskan atau tidak meneruskan belief tadi untuk menjadi prasangka dan diskriminasi. Apabila ia tidak melakukan apa-apa untuk menghambat belief, maka akan terjadi prasangka. Di lain pihak, jika ia melakukan sesuatu untuk menghambat berkembangnya prasangka, misalnya dengan berpikir bahwa belum tentu orang yang dijumpainya memiliki karakteristik persis seperti anggota lain kelompoknya, maka prasangka tidak terjadi.